Dahulu kala, Gili Iyang termasuk diantara pulau yang sunyi dan sepi. Di pulau yang kelak dikenal memiliki kadar oksigen tertinggi di dunia itu banyak tumbuh pepohonan yang amat besar dan unik. Pohon baru dan pohon ra’as termasuk diantara pepohon yang dominan tumbuh di pesisir pantai (baca: desa Banra’as sekarang). Konon katanya, pohon-pohon tersebut banyak dihuni oleh makhluk astral, diantaranya jin dan kuntilanak serta makhluk yang seram-seram lainnya. sementara penduduknya masih sedikit dan berkelompok-kelompok terutama bermukim disekitar pelabuhan. Pelabuhan pada saat itu yang sering disinggahi perahu adalah pelabuhan Banbaru, pelabuhan kecil yang digunakan masyarakat nelayan untuk berlabuh, sedangkan pelabuhan Legun merupakan pelabuhan besar yang sering disinggahi perahu layar dari Sulawesi, terbukti disekitar pelabuhan Legun banyak makam-makam Daeng (baca: pendatang baru dari Sulawesi Selatan).
Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kerajaan protestan Hindia-Belanda yang saat itu menjadi penguasa di Madura-Sumenep menerapkan satu sistem baru yang dikenal dengan pemerintahan desa. Pengaruhnya sangat besar terhadap Gili Iyang. Pada masa ini tercatat dalam sejarah sebagai masa awal terbentuknya sistem pemerintahan di Gili Iyang. Di mulai dari kyai Abdul Hamid Sora Laksana, lalu dilanjutkan oleh putranya, Kyai Abd. Syahid. Seiring dengan perkembangan zaman, penduduk Gili Iyang bertambah banyak.
Maka berdasarkan hasil kesepakatan wilayah Gili Iyang dibagi menjadi dua, desa Bancamara dan desa Banra’as. Demikian ini terjadi pasca kepemimpinan Kyai Abd. Syahid bin Kyai Abdul Hamid Sora Laksana sekitar tahun 1889 M. Sejak saat itulah di Gili Iyang terbagi menjadi dua wilayah, Bancamara dan Banra’as. Nama dua desa tersebut diambil dari peristiwa/sesuatu yang menonjol di desa tersebut.
Ban atau Ben adalah/tempat, sedangkan Raas adalah nama sebuah pohon yang banyak tumbuh disekitar desa tersebut. pada perkembangan selanjutnya pohon raas yang tumbuh subur di desa tersebut ditebang guna dijadikan wahana tempat tinggal serta lahan bercocok tanam masyarakat Gili Iyang. Di sebelah utara Banraas ada pohon besar yang namanya pohon Kalompang dan bentuknya bengkok, selain sebagai tanda bagi seorang melaut, dibawah pohon itu ada goa tempat bertapa seorang Wali. Sekarang tempat itu dianggap keramat oleh masyarakat. Dengan adanya pohon unik, beda dengan pohon lain maka pohon itu dijadikan nama sebuah kampung (baca: kampung Kalompang Bongkok). Pada masa pemerintahan Bukaha, kampung atau dusun Kalompang Bongkok dirubah namanya menjadi Dusun Bongkok. Disebelah selatan Banraas yaitu dusun Asem juga diambil dari nama pelabuhan, dipelabuhan tersebut tepatnya dipinggir jalan atau pesisir pantai banyak terdapat pohon asem. Pohon asam yang dominan tumbuh di pesisir dan pinggir jalan raya itu sangat familiar ditengah masyarakat, sehingga nama pohon tersebut dikemudian hari dijadikan nama dusun yaitu Dusun Asem.
Di sebelah barat Banra’as ada pelabuhan yang disebut pelabuhan Banra’as. Nama pelabuhan itu diambil dari nama pohon yaitu Ra’as. Konon dikampung tersebut paling banyak terdapat pohon ra’as. Karena itulah tempat itu dinamakan dusun Ra’as. Dilihat dari keramaian dan perkembangan pelabuhan yang ada, Banra’as paling menonjol dibandingkan dengan yang lainnya, maka nama pelabuhan itu dijadikan nama salah satu desa di pulau Gili Iyang.
0 Comments