Menurut khazanah pitutur sesepuh Gili, terdapat berbagai macam versi tentang asal muasal nama Gili Iyang. Versi pertama menyatakan bahwa, nama Gili Iyang diambil dari nama Gili Elang (Red: Madura). Gili secara harfiyah berarti tempat atau daerah, sedangkan Elang (baca: Madura) berarti hilang alias tak kasat mata. Cerita mengenai asal usul nama Gili Iyang berdasarkan versi ini amat popular di lingkungan masyarakat Gili Iyang. Pendapat ini di hubungkan dengan suatu peristiwa bersejarah yaitu perjalanan salah satu tokoh pembabat Gili Iyang, Daeng Karaeng Masalle. Ia hijrah dari Goa ke Gili Iyang dengan membawa misi dakwah, menyebarkan ajaran Islam, seraya mencari pulau yang posisi sejajar dengan garis khatulitiwa (baca: Malang Eare). Konon, ia berangkat ditempat tujuan ditemani oleh ikan besar, masyarakat Gili Iyang menyebutnya mondung tanduk/mondung pote. Berhari-hari Karaeng Masalle menyusuri selat Gili Iyang, akan tetapi pulau tujuan tersebut tidak kunjung ia temukan. Akhirnya ia memutuskan singgah di pulau Poteran, sebuah pulau yang posisinya berada di barat laut Gili Iyang. Di sana ia melakukan mujahadah selama 40 hari empat puluh malam untuk meminta petunjuk kepada Alla SWT. Setelah genap 40 hari empat puluh malam, pagi harinya Karaeng Masalle didatangi oleh seorang nenek tua, lalu nenek tua itu memberi dua lembar sirih padanya seraya memerintahkan agar sirih itu digunakan sebagai alat peneropong Gili Iyang. Tanpa ragu sedikitpun beliau langsung memakai kedua sirih itu sebagai alat peneropong hingga pada akhirnya pulau tersebut (Gili Iyang sekarang) dapat terlihat dengan terang.
Versi kedua menyebutkan Gili Iyang atau Giliyang berasal dari kata Sere Elang (red: Madura) pendapat ini juga tak kalah popular dengan pendapat yang pertama bahkan bisa dikatakan sebagai pendapat yang banyak diceritakan secara mutawatir dari generasi kegenerasi masyarakat Gili Iyang. Pendapat ini dihubungkan dengan kisah kyai Abdul Hamid Sora Laksana, diceritakan bahwa suatu ketika pesawat tempur Belanda (sebagian riwayat menyebutnya bukan Belanda tapi Lanon) sedang menuju Gili Iyang. Kedatangan Belanda atau Lanon menurut sebagian riwayat, membuat panic bin geger masyarakat Gili Iyang. Mereka sangat khawatir kalau Lanon atau Belanda tidak dicegah, mereka bisa menjadi korban kebiadaban mereka. Sebagian masyarakat melaporkan kejadian tersebut kepada Kyai Abdul Hamid Sora Laksana di panggung (desan Bancamara sekarang). Kyai Abdul Hamid langsung dibawa ke pesisir pantai, mulanya ia meminta kepada salah satu muridnya untuk mengambil selembar sirih, lalu Kyai Hamid membaca doa tak lama kemudian langit itu menjadi mendung dan gelap. Tampak disana kapal-kapal Belanda/Lanon berputar-putar seperti kehilangan arah dan pada akhirnya kapal-kapal itu menjauh dari Gili Iyang. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa Sere Elang yang dikemudian hari menjadi nama pulau tersebut.
Versi ketiga menyebutkan bahwa, kata Gili Iyang berasal dari kata Ghile dan Iyang. Ghile secara harfiyah berarti gila alias tidak waras, sedangkan kata Iyang diartikan sebagai buyut atau nenek moyang. Konon katanya, di Gili Iyang menjadi tempat pembuangan orang-orang gila alias tidak waras sehingga banyak sekali orang gila yanga ada dipulau tersebut. Ketika Andang Taruna tiba di Gili Iyang, orang-orang yang stress bin gila itu mendapat perawatan intensif dari Jhu’ Taruna hingga akhirnya mereka normal kembali dan pada akhirnya menjadi muridnya yang setia. Karena dulu di Gili Iyang banyak dihuni orang gilamaka pulau tersebut disebut Ghile Iyang yang berarti nenek moyang yang gila.
0 Comments