MEREKA MENYEBUTNYA BANRAAS
Sejarah mengisahkan, ratusan tahun silam terdapat sebuah pulau yang kerap dikenal sebagai pulau yang sunyi dan sepi, Ia Bernama Gili Iyang. Kata “Gili” berarti pulau, sedangkan kata “Iyang” berasal dari Bahasa Bugis yang artinya sesepuh. Secara historis, pulau tersebut telah dikenal pada masa kerajaan Hindu-Budha tempo dulu. Letaknya yang strategis dan mudah dijangkau oleh pelaut dan niagawan asing, menjadikan Gili Iyang sebagai pulau yang banyak dilihat oleh mereka yang ingin berlabuh di Pelabuhan Kalianget dan Kertasada. Dari sekian banyak suku bangsa yang berlayar melintasi selat Gili Iyang dan sering singgah di pulau tersebut adalah suku Bugis dan Mandar. Konon suku Mandar menyebut Gili Iyang dengan sebutan SUTAWIL . Pulau tersebut mulai dikenal orang timur (Sulawesi) sebagai sebuah pulau yang posisinya tegak lurus dengan garis katulistiwa (Madura : malang eare). Tanahnya mengandung berkah, keramat serta angker. Melalui mereka, para saudagar dan pelaut Bugis, Mandar, Makassar serta para pengembara dari pulau Binongko, Gili Iyang mulai akrab dalam pembicaraan mereka, mungkin karena sering dibicarakan tentang adanya pulau berkah dan keramat oleh orang yang pernah singgah di Gili Iyang sehingga menarik perhatian mereka untuk mengunjungi pulau yang dikenal dengan kadar oksigennya itu.
Pada abad ke 13 sampai abad ke 14, Gili Iyang hanya dijadikan sebagai tempat singgah bagi suku Bugis, Makassar, Mandar, Maju dan Buton ketika sedang melakukan perniagaan melalui jalur laut di daerah Madura. Lalu pada paruh kedua abad 18, Gili Iyang memasuki episode baru dalam sejarah dan telah banyak dihuni oleh penduduk. Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kerajaan protestan Hindia Belanda saat itu menjadi penguasa di Madura-Sumenep menerapkan suatu sistem baru yang dikenal dengan pemerintahan desa dan pengaruhnya sangat besar terhadap Gili Iyang. Tercatat dalam sejarah pada masa itu sebagai masa awal terbentuknya system pemerintahan di Gili Iyang. Dimulai dari Kyai Abdul Hamid Sora Laksana, kemudian dilanjutkan oleh putranya, Kyai Abd, Syahid .
Seiring dengan perkembangan zaman, penduduk Gili Iyang bertambah banyak. Maka berdasarkan hasil kesepakatan, wilayah Gili Iyang dibagi menjadi dua desa yaitu Bancamara dan Banraas. Demikian ini terjadi pasca kepemimpinan Kyai Abd. Syahid dan Kyai Abdul Hamid Sora Laksana sekitar tahun 1889 M. Nama Bancamara dan Banraas diambil dari peristiwa atau sesuatu yang menonjol di desa tersebut. Desa Banraas berasal dari dua kata yakni Ban (Madura : bhen) dan raas. Ban atau bhen berarti tempat, sedangkan raas adalah nama sebuah pohon yang banyak tumbuh di sekitar desa tersebut yang kabarnya banyak dihuni oleh makhlus halus. Dibawah ini merupakan gambar dari pohon raas.
Pada perkembangan selanjutnya pohon raas yang tumbuh subur di desa tersebut ditebang untuk dijadikan tempat tinggal dan lahan untuk bercocok tanam masyarakat Gili Iyang. Di sebelah utara desa Banraas terdapat pohon besar yang bernama Kalompang dan bentuknya Bungkuk (Madura : Bungkok). Dibawah pohon tersebut terdapat goa tempat bertapa seorang wali Kyai Si’im Bin Simati. Saat ini tempat tersebut di anggap keramat oleh masyarakat sekitar. Karena keunikan pohon tersebut, maka nama Kalompang Bungkok dijadikan sebagai nama dusun. Kemudian di sebelah selatan desa Banraas terdapat nama dusun Assem yang di ambil dari nama sebuah pohon yang banyak terdapat di pinggir jalan atau pesisir pantai. Dusun yang ada di desa Banraas berjumlah enam diantaranya Raas Barat , Raas Timur, Assem, Kalompang, Baru dan Bungkok. Uniknya, semua nama dusun tersebut diambil dari nama pohon yang banyak tumbuh di setiap dusunnya.
0 Comments