Pulau Giliiyang atau yang lebih sering
disebut Pulau Oksigen merupakan salah satu pulau di Madura tepatnya di
Kabupaten Sumenep yang memiliki 2 desa. Desa Banra’as merupakan salah satu desa
yang berada di pulau Giliiyang tepatnya di Kecamatan Dungkek. Desa ini memiliki
banyak potensi alam salah satunya yaitu potensi wisata seperti Gua Mahakarya,
Pantai Ropet, dan Qur’an Zymat.
Selain memiliki potensi wisata yang
cukup baik, desa ini juga memiliki tradisi yang sampai saat ini masih
dilestarikan. Tradisi yang dimaksud yaitu perjodohan. Perjodohan ini dilakukan
biasanya dikarenakan kedua orang tua telah kenal dekat sehingga terjadilah
perjodohan ini. Tradisi ini sering
disebut dengan pengantin jeren atau pengantin naik kuda. Tradisi ini dilakukan
ketika proses lamaran atau tunangan. Bahkan Tradisi ini digelar lebih meriah
daripada akad nikah nantinya.
Perjodohan biasanya dimulai dengan
ngen-ngenan yaitu orang tua calon mempelai laki-laki mencari calon istri yang
akan disandingkan di pelaminan. Terdapat dua pendekatan, yang pertama yaitu
dengan jasa makcomblang atau disebut pengade’. Orang kepercayaan itu bertugas
mencari informasi tentang calon pasangannya mulai dari keluarga, asal-usul,
atau latar belakangnya. Pendekatan kedua yaitu perjodohan langsung antara kedua
orang tua. Setelah terjadi kesepakatan, maka dilakukan pertunangan.
Perjodohan sejak dini ini, wajib
dilakukan terkhusus untuk masyarakat yang masih taat pada tradisi ini. Jika
sampai dianggap terlambat karena tidak buru-buru mengumumkan perjodohan
tersebut, masyarakat akan menganggapnya sebagai aib dikarenakan sang anak
dianggap “tidak laku”.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir,
seiring pemerintah melarang pernikahan dini, batas usia perkawinan mulai
dinaikkan. “Untuk perempuan 16 tahun, laki-laki 19 tahun” kata Kepala Desa
Banra’as H. Mathor.
Ketika tradisi ini dilakukan, banyak
masyarakat desa yang antusias mengiringi pengantin. Biasanya yang naik kuda
yaitu pengantin dan saudaranya. Jadi, tidak heran jika yang naik kuda lebih
dari 1. Pertama-tama kedua pengantin naik kuda kemudian diarak oleh masyarakat
menuju rumah kepala desa. Selain masyarakat, pengantin jeren ini juga diiringi
oleh gamelan. Setelah sampai di rumah kepala desa, pengantin kuda berhenti
sejenak kemudian dilanjutkan kembali ke rumahnya. Tradisi ini sering kali
dilakukan setelah ashar hingga menjelang magrib.
Setelah pengantin jeren, malamnya
dilanjut dengan tari tayub atau orang desa menyebutnya ludruk. Acara ini bisa
dua hari dua malam atau bisa lebih.
Ari Andi Mustofa,
Mahasiswa Teknik Informatika,
Universitas Trunojoyo Madura
0 Comments